Selasa, 05 Juli 2011

Radikalisme dan Stabilisasi Politik

Sepertinya ancaman terbesar bagi pemerintahan SBY saat ini adalah radikalisme. Setidaknya, dari ingatan kami yang sangat pendek, ada tiga kali pernyataan atau pidato SBY yang menegaskan perlunya melawan radikalisme. Yang pertama, ketika Presiden memberikan sambutan dalam rapat di istana Bogor pada bulan April lalu. Yang kedua, ketika sedang melakukan teleconference dengan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), dimana SBY menyerukan supaya organisasi petani jangan dibawa pada gerakan politik. Dan yang ketiga, ketika SBY membuka Jambore Nasional gerakan pramuka di di Teluk Gelam, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu (2/7).

Pesan dari presiden SBY sangat jelas: radikalisasi telah mengancam kehidupan politik atau stabilisasi politik. Kita tidak tahu, apa yang dimaksud SBY sebagai bahaya radikalisme sebatas pada aksi terorisme, ataukah juga mengcakup tindakan-tindakan atau gagasan yang berseberangan dengan keinginan pemerintah.

Secara bahasa, radikal berasal dari istilah Yunani, radix, yang berarti akar. Menurut Wikipedia, pada abad ke-18 istilah ini dipergunakan oleh gerakan radikal untuk mendesakkan perubahan atau reformasi, seperti reformasi pemilihan di Inggris, gerakan republikanisme di revolusi perancis, dan lain-lain.


Dalam eksiklopedia Britania, penggunaan radikalisme pertama kali mengacu kepada Charles James Fox, dari partai Whig Inggris, yang, pada tahun 1797, mengusulkan reformasi radikal terhadap sistim pemilihan di Inggris. Penemuan-penemuan besar di abad ke-19, seperti penemuan lampu listrik oleh Thomas Alva Edison dan penemuan mesin uap oleh James Watt, tidak akan mungkin terjadi jika mereka tidak melakukan radikalisme pemikiran untuk membongkar pakem-pakem pengetahuan sebelumnya.

Dalam sejarah Indonesia, ketika kaum pergerakan mau berbicara negara baru di bawah kekuasaan kolonialis Belanda, yaitu Indonesia, telah mengambil jalan gerakan radikal. Bung Karno, dalam pidato ‘Indonesia Menggugat’, mengatakan begini: “Kami adalah nasionalis revolusioner, nasionalis yang radikal, nasionalis kepala banteng! Kami punya bahasa adalah bahasa yang keluar dari kalbu yang berkobar-kobar dengan semangat nasional, berkobar-kobar dengan rasa kecewa atas celaka dan sengsara rakyat.”

Sekarang ini pun, di bawah penjajahan neo-kolonialisme atau imperialisme, rakyat harus mengambil jalan radikal untuk membongkar mindset dan mental budak dalam dirinya. Kita juga tidak mungkin lepas dengan imperialisme hanya dengan meminta ‘secara baik-baik’ kepada imperialis agar segera menghentikan penghisapan di bumi nusantara. Kita harus menempuh jalan radikal untuk menyelesaikan persoalan bangsa itu.

Sebaliknya, pihak-pihak yang selalu berbicara ketertiban dan ketenteraman, sekalipun ketertiban dan ketenteraman itu juga penting, adalah pihak-pihak yang sudah menikmati keuntungan besar di bawah kondisi sosial sekarang ini. Kita butuh ketertiban dan ketenteraman, tetapi kita jauh lebih butuh kesejahteraan, demokrasi, dan keadilan sosial.

Oleh karena itu, ada baiknya Presiden SBY memperjelas bahaya radikalisme yang dimaksud; jangan disamar-samarkan atau sengaja diluweskan pengertiannya. Kalau yang dimaksukan adalah kelompok agama garis keras atau terorisme, maka ada baiknya menggunakan istilah yang langsung menunjuk hidung: fundamentalisme atau kanan garis keras (ultra-kanan). Kalau menurut kami, gerakan fundamentalis itu bukan sebuah gerakan radikal, karena dia tidak bermaksud mengubah situasi sekarang untuk bergerak pada taraf yang lebih maju, melainkan ingin kembali ke masa yang kelam; kekuasaan absolut di tangan segelintir orang (raja atau pemuka agama).

Dengan begitu, kita tidak perlu mengorbankan bentuk-bentuk radikalisme yang positif, yakni kebutuhan-kebutuhan perubahan mendasar terhadap sistem sosial yang menindas sekarang ini.

Dan, lebih parah lagi, jangan sampai deradikalisme itu diartikan sebagai larangan kepada rakyat untuk berpolitik. Jika sampai terjadi demikian, maka pemerintahan SBY-Budiono ini tentu akan berjalan lebih mundur dibanding rejim orde baru. Karena, larangan terhadap rakyat untuk berpolitik adalah sama saja membonsai fikiran rakyat agar tetap bodoh dan takluk, tetap miskin dan tidak berani menuntut, dan menerima penderitaan apapun yang ditimpakan padanya tanpa perlawanan.


Berdikari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar