Kamis, 23 Juni 2011

SBY: Kelompok Tani Jangan Berpolitik

Kamis, 23 Juni 2011 | 1:17 WIB

Editorial
Presiden SBY memang pandai beretorika. Berbicara kepada petani dan nelayan di Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), supaya terkesan peduli kepada nasib petani, SBY mengajak anggota KTNA agar tidak terlibat politik praktis. SBY mengaku khawatir, jika KTNA masuk dalam ranah politik, maka hal itu  menganggu tekad awal pendirian organisasi untuk memajukan kehidupan kalangan petani dan nelayan.
Jika ditelaah dengan benar pernyataan Presiden SBY itu, maka akan muncul sejumlah kesimpulan-kesimpulan. Pertama, Presiden SBY memandang gerakan politik sebagai penyebab organisasi tani gagal memajukan kehidupan anggotanya. Kedua, SBY memandang politik sebagai sesuatu yang negatif; pemecah belah atau mengkotak-kotakkan orang. Ketiga, kesejahteraan petani, karenanya, dapat dicapai dengan membiarkan petani bekerja tanpa dikait-kaitkan dengan politik.
Pernyataan SBY itu tidak ubahnya dengan nasehat Soeharto dulu. Soeharto juga menghendaki agar petani tidak berpolitik, dan karenanya, gerakan petani pun dilemahkan sedemikian rupa. Barangkali jubah reformis SBY terlalu tipis, sehingga ia sering kemasukan angin gaya berpolitik orde baru.
Kalau tidak ada gerakan politik, maka tidak mungkin memerdekaan negeri ini. Menurut Bung Karno, bapak pembebasan nasional Indonesia, politik adalah seni membangun kekuatan dan penggunaan kekuatan; machtsvorming dan machtsontplooing. Dalam perjuangan anti-kolonial, kaum pergerakan menyusun kekuatannya dengan memasukkan kaum buruh, kaum tani, dan rakyat tertindas Indonesia lainnya.
SBY harus mengingat peranan awal kaum tani dalam perjuangan anti-kolonial: pemberontakan 10 ribu kaum tani di Semarang tahun 1918 yang dikenal dengan sebutan “Tjaping-kropyok”, pemberontakan petani Tjirame tahun 1917, pemberontakan tani Jambi dan Palembang tahun 1917 dan 1918, pemberontakan tani Toli-Toli tahun 1918, pemberontakan tani di Kalimantan dan Ternate pada tahun 1919. Bahkan, pemberontakan anti-kolonialisme yang pertama, yaitu pemberontakan 1926/27, adalah sebagian besar dimotori dan digerakkan oleh kaum tani.
Jika demikian halnya, maka politik tak bisa dipandang sebagai pemicu pengkota-kotakan dan perpecahan bangsa; sebaliknya, politik adalah penyatuan kekuatan dan penggunaan kekuatan untuk tujuan bersama.
Kita harus berfikir positif dulu, bahwa semua kekuatan atau partai politik di Indonesia punya maksud baik, yaitu kemajuan bangsa. Kalau ada partai yang mendorong pada kehancuran bangsa, menyokong kolonialisme atau imperialisme, dan membiarkan praktek korupsi, maka partai tersebut pantas dilawan secara bersama-sama oleh rakyat Indonesia. Mungkin, partainya pak SBY, yaitu partai Demokrat, masuk kategori ini.
Selain itu, kehidupan kaum tani tidak dapat dipisahkan dengan politik. Bukankah kaum tani Indonesia, sebagai bagian dari rakyat, dilingkupi oleh sebuah kekuasan politik. Dan, maju dan tidaknya kehidupan kaum tani, hal itu sangat bergantung dari kebijakan dan keberpihakan dari kekuasaan politik di maksud. Di sini timbul persoalan: bagaimana mungkin kaum tani tidak melakukan perjuangan politik, jikalau sebagian besar kebijakan yang membelenggu kehidupannya adalah kebijakan politik.
Soekarno pernah mengatakan: “selama Rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi maupun sosial maupun politik, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan dengan kepentinganya.
Kekuasaan politik saat ini, yakni pemerintahan SBY-Budiono, adalah kekuasaan politik yang justru berlawanan dengan kepentingan kaum tani. Ada banyak kebijakan politik yang merugikan kepentingan petani: penghapusan subsidi pertanian, liberalisasi impor produk pertanian, liberalisasi investasi (berujung pada perampasan tanah milik petani karena alasan investasi), dan lain sebagainya.
Jika petani dilarang berpolitik, atau dalam artian dilarang membangun kekuataan untuk mempengaruhi atau bahkan merebut kekuasaan politik, bukankah itu sama saja dengan membiarkan petani terhisap dan tertindas oleh sebuah kekuasaan politik yang merugikan kepentingannya.
Tanpa mengubah kekuasaan politik saat ini, maka tidak ada perbaikan kesejahteraan bagi kaum tani di Indonesia. Oleh karena itu, kaum tani bukan saja penting untuk terlibat politik, tetapi lebih penting lagi adalah membangun kekuatan bersama sektor rakyat lainnya untuk membangun sebuah kekuasaan politik: Kekuasaan Rakyat!

"GERAKAN PASAL33"



POLITIK PERJUANGAN ANTI-IMPERIALISME
GERAKAN PASAL 33:
Kembalikan bumi, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat!

Latar Belakang
Kita memasuki suatu masa dimana kontradiksi antara kepentingan nasional dan imperialisme semakin meruncing. Tidak saja di berbagai belahan dunia, sebagaimana yang terjadi di Timur Tengah, Amerika Latin, dan Asia, tetapi juga di dalam negeri kita sendiri: Indonesia.
Kontradiksi yang menajam itu mengambil bentuk pada meluasnya serangan imperialis terhadap kedaulatan nasional Indonesia, baik dalam bentuk pencaplokan langsung maupun tidak langsung. Kekhawatiran terhadap dominasi asing bukan hanya hinggap di kepala aktivis yang paling sadar, tetapi kini sudah tertanam kuat pula di kalangan sebagian besar tokoh politik nasional.
Harian terbesar di Indonesia, Kompas, mengulas secara berseri bagaimana dominasi asing terjadi di Indonesia. Ulasan Kompas ini kemudian menjadi referensi sejumlah tokoh politik dan intelektual ketika membenarkan adanya praktek penjajahan gaya-baru di negeri ini. Media-media lain, semisal Media Indonesia dan jaringannya, juga aktif membeberkan dominasi asing di Indonesia.
Saat peringatan Hari Lahirnya Pancasila, Megawati Soekarno Putri dan Habibie tampil memukau karena memblejeti imperialisme atau neo-kolonialisme. Megawati, misalnya, mengupas ancaman imperialisme dengan mengacu pada data-data yang disajikan oleh Kompas. Sementara Habibie mengidentikkan penjajahan gaya baru ini dengan “VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru”.
Bahkan, karena tak bisa mengelak dari kenyataan itu, maka SBY pun terpaksa memberi pengakuan akan realitas itu dan menjanjikan renegosiasi kontrak sebagai solusinya. Benar dan tidaknya janji SBY itu, nanti gerakan rakyat yang akan menagih.
Realitas Imperialisme Di Indonesia
Sebagian besar kaum pergerakan di Indonesia memahami imperialisme sebagai sebuah penjajahan baru. Tetapi seperti apa penjajahan gaya baru itu dan bagaimana ia bekerja, kaum pergerakan terkadang gagap untuk menjelaskannya.
Jika menelisik kepada pemikiran V.I Lenin, satu tokoh yang paling sistematis membahas imperialisme sebagai tahap tertinggi kapitalisme, imperialisme dapat dipahami secara singkat sebagai tahapan monopoli dari kapitalisme. Dalam uraian dibukunya yang termasyhur, Imperialisme Tahap Tertinggi Kapitalisme, Lenin menyoroti dominasi monopoli dan capital finansial, yang memungkinkan terjadinya ekspor kapital ke berbagai belahan dunia, lalu terjadinya pembagian teritori dunia oleh kekuatan asing.
Bagaimana ekspor kapital itu terjadi? Bung Karno, dalam pidato “Indonesia Menggugat”, menguraikan hubungan ekspor kapital dan imperialisme begini: “aliran kapital keluar ini tidak hanya berupa uang saja. Negeri-negeri yang mengeluarkan kapital itu juga mengirimkan mesin-mesin, mendirikan pabrik-pabrik, membikinkan jalan-jalan kereta-api dan pelabuhan-pelabuhan, dll”.
Sekarang ini, mungkin yang menjadi tambahan dari penjelasan Bung Karno, bahwa peranan kapital finansial saat ini yang sudah terlampau besar. Sesuatu yang sudah diprediksikan Lenin, dan tampil begitu nyata dalam kehidupan kita sekarang ini; kapital finansial telah lebih dominan daripada kapital industri.
Tapi kita tahu, datangnya kapital itu di atas bumi Indonesia bukan tanpa maksud. Mereka berkeinginan beranak pinak di Indonesia, meskipun kemudian menyingkirkan rakyat di negeri tempatnya menghisap. Tentang maksud imperialisme itu, Bung Karno menguraikan dengan lengkap, sebagai berikut: 1) Indonesia tetap menjadi negeri pengambilan bekal hidup, (2) Indonesia menjadi negeri pengambilan bekal-bekal untuk pabrik-pabrik di eropa, (3) Indonesia menjadi negeri pasar penjualan barang-barang hasil dari macam2 industri asing, (4) Indonesia menjadi lapang usaha bagi modal yang ratusan-ribuan-jutaan rupiah jumlahnya.
Sangat nyatalah, sekalipun tidak sepenuhnya, bahwa maksud utama imperialisme itu adalah tujuan-tujuan ekonomis, sedangkan aspek sosial dan budaya hanya untuk memastikan proses penaklukan bisa berlangsung.
Maka, ketika Habibie mendefenisikan imperialisme sebagai pengalihan kekayaan suatu Negara ke Negara lain, maka sebetulnya ia sudah benar dalam salah satu aspek dari tujuan imperialisme:perampokan sumber daya (bahan baku, tenaga kerja, dan pasar).
Perampokan Sumber Daya Alam
Mendalami apa yang difikirkan Habibie, juga oleh banyak pengamat ekonomi dan politik di Indonesia, bahwa pengalihan kekayaan dari suatu negara ke negara lain adalah salah satu bentuk nyata dari praktek imperialisme.
Sejarah imperialisme sepanjang masa, dari imperialisme tua hingga imperialisme ter-modern, tidak bisa dipisahkan dari maksud-maksud ekonomi-politik: penguasaan sumber daya dan sumber-sumber ekonomis lainnya negara jajahan.
Lenin menulis hal itu  dengan sangat jelas, “Kapitalisme makin berkembang, maka makin kuatlah terasa kekurangan akan bahan-bahan mentah, makin menghebatlah perlombaan dan pengejaran untuk sumber-sumber bahan mentah di seluruh dunia, makin nekadlah perjuangan untuk penguasaan tanah-tanah jajahan.”
Kita sudah tahu, sejak kolonialisme pertama kali menginjakkan kaki di Nusantara, jika kita telaah kembali Bung Karno dalam pidato  Indonesia Menggugat, tujuan mereka adalah menguasai bahan mentah dan menancapkan monopoli atas perdagangan. Sampai sekarang pun masih demikian; aspek utama dari dominasi imperialisme di Indonesia adalah mengusaia bahan mentah, menguasai pasar dan perdagangan, dan sektor-sektor ekonomi lainnya (jasa, dll).
Di Indonesia, hingga Maret 2011,  kapital asing telah menguasai 50,6% aset perbankan. Selain menguasai perbankan, kapital asing juga menyerbu Indonesia dalam bentuk kapital investasi di berbagai sektor: pertambangan, pertanian, kehutanan, kelautan, transportasi, telekomunikasi, dan lain sebagainya.
Penguasaan atas kekayaan alam ini mensyaratkan penguasaan pula atas tanah/lahan yang semakin massif beberapa waktu belakangan, sehingga menimbulkan kontradiksi dengan kaum tani di berbagai daerah. Perebutan tanah oleh capital perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, seringkali dilegitimasi oleh keputusan pemerintahan pusat maupun daerah.  
Selain mengusai produksi bahan mentah, pihak asing juga mendominasi, bahkan menguasai, sektor-sektor perekonomian yang lain. Sebut saja: lapangan perdagangan (ekspor/impor), lapangan perindustrian, pelayanan  jasa—termasuk asuransi, dan lain sebagainya.
Fakta lain juga terlihat pada pengusaan asing terhadap pasar di dalam negeri. Menurut data kasar yang kami dapatkan, ekonomi rakyat hanya menempati 20% pangsa pasar nasional, sedangkan asing dan swasta nasional mengusai 80%.
Akibat dari penguasaan asing itu, sebagaimana diakui oleh Burhanuddin Abdullah, manta Gubernur Bank Indonesia, ‘rakyat Indonesia hanya menikmati 10% dari keuntungan ekonomi, sedangkan 90%nya dibawa asing keluar.’
Untuk melihat seberapa jauh perampokan kekayaan alam Indonesia, marilah kita lihat dari angka ekspor yang ada. Sebab, sebagaimana dikatakan Bung Karno, ekspor yang terlalu besar menandai kekayaan alam Indonesia yang mengalir keluar. Pada tahun 2010, misalnya, nilai ekspor Indonesia mencapai USD157,73 miliar  atau sekitar Rp1500 Triliun. Sebagian besar komponen ekspor itu adalah bahan mentah, seperti batubara, minyak, bauksit, minyak kelapa sawit, dan karet.
Coba bayangkan seberapa banyak mereka merampok kita; Misalnya, bauksit diambil di Pulau Karimun, dibawa ke luar negeri dengan harga US$ 30. Kemudian masuk Indonesia menjadi alumina dengan harga US$ 220. Jadi, nilai tambah yang dirampok adalah US$190.
Selain menyerahkan nilai tambah kepada imperialis, kebijakan ekspor bahan mentah juga menyerahkan tenaga kerja dan keuntungan yang semestinya didapat jika bahan mentah itu diolah di dalam negeri.
Sekarang ini, pemilik modal asing tidak hanya bernegosiasi dengan rejim nasional, tetapi bisa langsung bernegosiasi dengan rejim lokal. Karena itu, tidak terelakkan lagi, pemodal asing pun sangat gampang untuk mencaplok sumber daya dan potensi ekonomi di tingkat lokal.
Hal itu pula yang membawa pertentangan antara imperialisme dengan rakyat Indonesia semakin dekat dan berhadap-hadapan. Berbagai kasus akhir-akhir ini, seperti penyerangan dan pembakaran asset perusahaan asing oleh massa rakyat, membuktikan bahwa pertempuran itu sudang bersifat langsung, antara rakyat Indonesia melawan imperialisme.
Penetrasi modal asing yang sedemikian besar itu, tentunya membawa konsekuensi-konsekuensi yang sangat buruk bagi rakyat Indonesia: Pertama, perampokan kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting menyebabkan—meminjam istilah Bung Karno—‘pengeringan terhadap rakyat Indonesia’. Kedua, karena modal asing memerlukan tanah, pembangunan infrastruktur pendukung, dan jaminan keamanan, maka sering terjadi perampasan tanah, penggusuran, dan represi atau penindasan terhadap rakyat.
Problem Gerakan Anti-Imperialisme
Meskipun pertentangan antara kepentingan nasional dan imperialisme kian menajam, juga hal itu mulai disadari banyak pihak, tetapi gerakan anti-imperialisme sendiri belum memperkuat barisannya.
Sejarah gerakan perubahan atau revolusi dimanapun selalu menjelasakan, kita butuh sebuah organisasi politik (front/blok politik) yang mampu, pertama, memajukan sebuah program nasional alternatif sebagai bahan perekat terhadap berbagai sektor kerakyatan yang berbeda, dan kedua, mampu mengkonsentrasikan kekuatan dalam satu jaringan untuk menyerang bagian terlemah dari musuh.
Ada tiga kelemahan besar gerakan anti-imperialisme saat ini. Yang pertama adalah belum adanya kesamaan dalam merumuskan strategi politik, yakni: mendefenisikan siapa musuh pokok, siapa sekutu, dan sektor mana yang perlu dinetralisir. Yang kedua, belum adanya sebuah proposal politik nasional yang dapat dipergunakan sebagai antitesa terhadap proyek neoliberal dan menyatukan berbagai kelompok gerakan. Yang ketiga, belum adanya sebuah rumusan slogan, sebagaimana revolusi lain dimanapun, yang berfungsi sebagai “single will” dari seluruh rakyat dan berbagai kekuatan politik.
Untuk masalah yang pertama, hal ini terlihat jelas pada belumnya adanya fokus serangan yang sama; apakah melawan imperialisme sebagai musuh pokok, ataukah melawan seluruh penindas rakyat secara bersamaan. Seharusnya, sebagaimana dijelaskan dalam hukum filsafat kita, harus dicari dulu siapa musuh pokok dan itulah yang harus segera dituntaskan. Jadi, tidak semua musuh perlu dihancurkan sekarang, tetapi hanya musuh pokok.
Untuk masalah kedua, sebuah proposal politik ibarat sebuah piston yang merapatkan uap, sehingga tak satupun uap itu bisa lepas, dan karenanya, bisa menggerakkan lokomotif. Kita memerlukan sebuah proposal nasional yang lengkap, bisa menjawab tuntutan rakyat yang paling pokok, tapi sekaligus menohok langsung kepentingan imperialisme.
Untuk proposal alternatif ini, kami merasa, pasal 33 UUD 1945 (sebelum amandemen) sangat lengkap dan rigid sebagai sebuah tawaran alternatif terhadap neoliberalisme. Pasal 33 UUD 1945 ini memiliki apa yang Bung Karno sebutkan sebagai roh “Sosialisme Indonesia”.
Untuk masalah ketiga, supaya gerakan ini mudah dipahami rakyat, gampang diingat, dan tidak lagi menimbulkan perdebatan diantara spectrum politik yang luas, maka menurut kami diperlukan untuk menggelorakan kembali sebuah slogan yang mengcakup perjuangan untuk mengembalikan kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting ke tangan rakyat Indonesia.
Perlunya Menggelorakan ‘Gerakan Pasal 33’
Kita punya konstitusi yang punya kandungan progressif: Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hanya saja, sepanjang perjalanan konstitusi itu, belum ada satu pemimpin yang betul-betul menjalankannya secara konsisten.
Dalam salah satu pasalnya, yaitu pasal 33, menetapkan bahwa perekonomian nasional harus disusun dengan cara:
(1)   Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2)   Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3)   Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jika diuraikan secara sederhana, maka kita bisa merangkum maksud pasal ini: perekonomian nasional, yang meliputi cabang-cabang produksi yang penting dan seluruh sumber-sumber kekayaan nasional, harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Dengan kata lain, pasal 33 UUD 1945 ini menghendaki adanya pemilikan alat produksi secara sosial (Sosialistik), dan bertentangan dengan secara total terhadap bentuk pemilikan alat produksi yang orang-perorang (kapitalisme) dan monopoli (imperialisme).
Karena watak pasal 33 UUD 1945 sangatlah progressif, maka tidak perlu menunggu lama agar imperialis akan mengutak-atiknya. Dan, benar saja, pasal 33 UUD 1945 ini menjadi target amandemen beberapa kali pasca reformasi ini.
Namun adanya amandemen ini tidak harus menghalangi perjuangan untuk memantapkan tekanan pada ayat-ayat progresif dalam pasal 33 UUD 1945. Ayat tambahan dalam amandemen ke-IV yang membuka peluang liberalisasi (penyerahan ekonomi nasional kepada pasar) hanya dapat dieliminir melalui suatu gerakan rakyat yang tersadarkan.   
Oleh karena itu, memperjuangkan pasal 33 bukan saja memperjuangkan kembalinya perekonomian nasional dan seluruh kekayaan alam ketangan rakyat, tetapi sekaligus sebuah perjuangan untuk mengembalikan jiwa perekonomian nasional kita sebagaimana digariskan founding father sejak terbentuknya Republik Indonesia ini.
Timbul pertanyaan: Apakah dengan menjalankan pasal 33 UUD 1945, maka semua perusahaan dan asset milik asing di Indonesia harus dinasionalisasi atau diambil-alih? Jawabannya sederhana: Yang kita pastikan, sebagaimana juga diatur dalam pasal 33 UUD 1945 itu, adalah pengakuan bahwa semua kekayaan alam (bumi, air dan semua yang terkandung di dalamnya) adalah dimiliki oleh negara. Negara, dalam hal ini adalah rakyat yang terorganisasikan. Jadi, apakah dilakukan nasionalisasi atau tidak, itu bergantung pada syarat-syarat yang kita punya: modal, teknologi, dan dukungan politik rakyat.
Jadi, bisa saja nantinya tuntutannya adalah renegosiasi kontrak karya, tentunya dengan mengganti item-item yang merugikan kepentingan nasional dan memasukkan tuntutan-tuntutan nasional (pembagian keuntungan yang lebih besar ke negara kita, kesepakatan soal transfer teknologi, pemenuhan kebutuhan domestik, dan lain-lain).
Bagaimana Menggelorakan Pasal 33
Untuk mempopulerkan kembali semangat pasal 33 ini, maka diperlukan sebuah gerakan. Dan, untuk membangun sebuah gerakan, maka kita mempersiapkan beberapa prakondisi atau tahapan aksi:
1.      Menjalankan propaganda massif melalui: pembagian selebaran, diskusi terbuka, mimbar bebas (kampus, kampung, pabrik), graviti action (coret-coret, mural, dsb), dan pembuatan terbitan massal.
2.      Melakukan penggalangan dukungan, sekaligus embrio persatuan nasional, dengan mendatangi tokoh-tokoh, partai politik, organisasi massa, pemimpin agama, dan lain sebagainya. Penggalangan dukungan dapat dilakukan dengan menggalang tanda-tangan, road show politik ke tokoh-tokoh, silaturahmi, dan lain-lain.
3.      Melakukan mobilisasi massa, baik sendiri ataupun front, dengan tujuan memperkenalkan gerakan pasal 33 secara luas kepada massa rakyat dan kepada kekuatan politik lain. Bentuk mobilisasi massa ini bisa berbentuk aksi massa ataupun rapat akbar (vergadering).

Selasa, 21 Juni 2011

KONSOLIDASI PEMBENTUKAN OWABRA dan OPJ


PRD SURABAYA meresmikan pembentukan organisasi OWABRA (Organisasi Wanita Pemberani ) dan OPJ (Organisasi Pengamen Jalanan ) 

Kampoeng baru-Jagir Wonokromo