Seribuan anggota dan kader Partai Rakyat Demokratik (PRD) Jawa Timur menghadiri deklarasi “Gerakan Pasal 33”, siang tadi (22/7). Deklarasi gerakan ini mengambil bentuk aksi massa di depan kantor DPRD Jatim.
Massa memulai aksinya dari depan tugu pahlawan. Hermawan, aktivis PRD Jatim, memimpin aksi massa ini. Aksi ini juga diikuti oleh aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), dan Komite Rakyat Pemberantas Korupsi (KRPK).
Sesampainya di depan kantor DPRD, ribuan massa PRD ini dihadang oleh ratusan anggota kepolisian. PRD pun memilih untuk melakukan orasi politik secara bergantian.
Ketua PRD Jawa Timur, Budi Santoso, mengungkap fakta tentang praktik imperialisme di Indonesia. “Perekonomian nasional kita sudah dikuasai oleh pihak asing. Itu bukan rahasia lagi. Media-media besar juga sudah sering mengungkapkannya,” kata Budi Santoso.
Budi Santoso menjelaskan bahwa empat ciri-ciri imperialisme yang pernah disampaikan Bung Karno 80 tahun yang lalu, kini sudah terjadi dan sangat nampak dalam susunan ekonomi kita saat ini.
Salah satu ciri imperialisme adalah menjadikan Indonesia sebagai penyedia bahan baku. Hal itu sangat nampak sekarang. Hampir semua komoditi ekspor kita adalah bahan mentah, seperti batubara (70%), minyak (50%), gas (60%), bauksit, minyak kelapa sawit, dan karet.
Ciri lainnya adalah indonesia menjadi tempat penanaman modal asing. Hampir 70% modal yang menggali untung di Indonesia adalah modal asing. Akibatnya, modal asing pun mendominasi sejumlah sektor strategis: Minyak dan gas (80-90%), perbankan (50.6%), telekomunikasi (70%), kebun sawit (50%), pelayaran barang (94%), pendidikan (49%), dan lain-lain.
Menurut Budi Santoso, salah satu penyebab kenapa imperialisme bebas bercokol dan mengoyak-oyak perekonomian nasional adalah tidak dijalankannya semangat pasal 33 UUD 1945.
Padahal, menurut Budi, pasal 33 UUD 1945 mengharuskan perekonomian diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan azar kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan mengusai hajat hidup orang banyak dikuasai negara, serta bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
“Jika pasal 33 UUD 1945 dijalankan secara konsisten, maka tidak ada alasan untuk menyerahkan kekayaan alam kepada pihak asing. Semuanya harus dikelola untuk kesejahteraan rakyat,” katanya.
Selain orasi dari aktivis PRD, ada pula orasi dari anggota DPRD dari Partai Bintang Reformasi (PBR), Nizar Zahro. Nizar mengaku sangat mendukung gerakan pasal 33 yang digelorakan oleh PRD.
Pasalnya, menurut Nizar, sekarang banyak kekayaan alam yang dirampok asing. Ia mencontohkan kasus pulau Madura yang dikuasai oleh West Madura Offshores (WMO).
Karena mendekati sholat Jumat, maka aksi massa deklarasi gerakan pasal 33 pun dipersingkat.
Jumat, 22 Juli 2011
Jumat, 08 Juli 2011
Ada Campur Tangan Asing Dalam Amandemen UUD 1945
Sidang Tahunan MPR baru saja dibuka oleh Ketua MPR, Amien Rais. Lima orang anggota MPR dari fraksi PDI Perjuangan tiba-tiba melakukan gerakan. Kelimanya menolak amandemen ketiga dan keempat UUD 1945. “Amandemen pertama dan kedua masih bisa ditolerir. Tapi amandemen yang ketiga dan keempat sudah kebablasan, ” kata Amin Aryoso, salah satu dari lima anggota PDIP Perjuangan yang menentang amandemen itu.
Gerakan ini dimotori oleh Amin Aryoso dan Permadi. Permadi sendiri berkali- kali mengacungkan tangan, tapi diabaikan oleh Amien Rais. “Saya menyatakan penolakan terhadap amandemen itu, tapi Amien Rais terus saja memukul palu tanda setuju, ” kata Permadi mengisahkan suasana rapat itu. MPR saat itu juga sangat tertekan .
Setiap hari, berbagai kelompok gerakan mahasiswa dan LSM mengepung gedung MPR, untuk mendesakkan pelaksanaan amandemen konstitusi. “Ya, MPR saat itu memang sangat tertekan, ” ujar Permadi. Menurut Permadi, keputusan untuk melakukan amandemen sebetulnya sudah mengingkari kesepakatan MPR sendiri. Jika mengacu pada kesepakatan MPR itu, amandemen terhadap UUD 1945 haruslah bersifat addendum. “Addendum itu bukan perubahan, melainkan tambahan-tambahan yang diperlukan. ”
Anehnya, kata Permadi, selama Sidang MPR terkait amandemen konstitusi itu berlangsung, ada pihak asing yang menunggui proses persidangan itu. Pihak asing itu adalah NDI (National Democratic Institute) . “Pihak NDI selalu menunggui sidang- sidang tentang amandemen konstitusi. Dan, bukan tidak mungkin, mereka juga membagikan amplop kepada pimpinan MPR saat itu,” ungkap Permadi saat diskusi bertajuk “Filosofi Pasal 33 menurut Pendiri Bangsa” di kantor KPP-PRD , kemarin (5 /7) .
Menurut catatan Mark Weisbrot, peneliti dari Center for Economic and Policy Research ( CEPR) , lembaga ini pernah terlibat dalam penggulingan Presiden yang terpilih secara demokratis di Haiti, Jean-Bertrand Aristide, terlibat dalam upaya mendestabilisasi pemerintahan Hugo Chavez di Venezuela, dan terakhir kudeta di Honduras.
Keterlibatan pihak asing dalam amandemen UUD 1945 juga tercium oleh Salamuddin Daeng, peneliti dari Institute For Global Justice (IGJ ). Menurut Daeng, seluruh rencana amandemen terhadap UUD 1945 tercantum dalam puluhan Letter Of Intent (LOI) dan Memorandum of Understanding (MOU ) antara pemerintah Indonesia dengan International Monetery Fund (IMF ) . “Ada puluhan LOI dan MOU antara IMF dan Indonesia yang berisi perintah tentang pasal mana saja yang mesti diubah dalam UUD,” ungkap Daeng. Jadi, menurut Daeng, desakan amandemen konstitusi tidaklah murni dari dalam, yakni kehendak rakyat, melainkan karena ada kepentingan asing untuk menjalankan liberalisasi di Indonesia.
Setelah amandemen terhadap UUD 1945, pekerjaan IMF dilanjutkan oleh Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB ), yang mensponsori lahirnya sejumlah perundang-undangan yang berbau neoliberal. Salah satu perubahan fundamental akibat amandemen UUD 1945 itu, kata Daeng, adalah penggantian kata “setiap warga negara” dalam semua pasal –pasal yang mencantumkan kata itu menjadi kata “setiap orang”. Kata ‘setiap orang’ , kata Daeng, mengacu pada pemaknaan individualisme. “Kita tidak lagi dilihat sebagai warga negara, melainkan sebagai individu- individu yang terpisah-pisah .”
Negara tidak lagi sebagai alat untuk melindungi kepentingan warga negaranya . Negara telah terpisah dengan warga negara. Yang diakui adalah subjek berupa individu-individu bebas.
Gerakan ini dimotori oleh Amin Aryoso dan Permadi. Permadi sendiri berkali- kali mengacungkan tangan, tapi diabaikan oleh Amien Rais. “Saya menyatakan penolakan terhadap amandemen itu, tapi Amien Rais terus saja memukul palu tanda setuju, ” kata Permadi mengisahkan suasana rapat itu. MPR saat itu juga sangat tertekan .
Setiap hari, berbagai kelompok gerakan mahasiswa dan LSM mengepung gedung MPR, untuk mendesakkan pelaksanaan amandemen konstitusi. “Ya, MPR saat itu memang sangat tertekan, ” ujar Permadi. Menurut Permadi, keputusan untuk melakukan amandemen sebetulnya sudah mengingkari kesepakatan MPR sendiri. Jika mengacu pada kesepakatan MPR itu, amandemen terhadap UUD 1945 haruslah bersifat addendum. “Addendum itu bukan perubahan, melainkan tambahan-tambahan yang diperlukan. ”
Anehnya, kata Permadi, selama Sidang MPR terkait amandemen konstitusi itu berlangsung, ada pihak asing yang menunggui proses persidangan itu. Pihak asing itu adalah NDI (National Democratic Institute) . “Pihak NDI selalu menunggui sidang- sidang tentang amandemen konstitusi. Dan, bukan tidak mungkin, mereka juga membagikan amplop kepada pimpinan MPR saat itu,” ungkap Permadi saat diskusi bertajuk “Filosofi Pasal 33 menurut Pendiri Bangsa” di kantor KPP-PRD , kemarin (5 /7) .
Menurut catatan Mark Weisbrot, peneliti dari Center for Economic and Policy Research ( CEPR) , lembaga ini pernah terlibat dalam penggulingan Presiden yang terpilih secara demokratis di Haiti, Jean-Bertrand Aristide, terlibat dalam upaya mendestabilisasi pemerintahan Hugo Chavez di Venezuela, dan terakhir kudeta di Honduras.
Keterlibatan pihak asing dalam amandemen UUD 1945 juga tercium oleh Salamuddin Daeng, peneliti dari Institute For Global Justice (IGJ ). Menurut Daeng, seluruh rencana amandemen terhadap UUD 1945 tercantum dalam puluhan Letter Of Intent (LOI) dan Memorandum of Understanding (MOU ) antara pemerintah Indonesia dengan International Monetery Fund (IMF ) . “Ada puluhan LOI dan MOU antara IMF dan Indonesia yang berisi perintah tentang pasal mana saja yang mesti diubah dalam UUD,” ungkap Daeng. Jadi, menurut Daeng, desakan amandemen konstitusi tidaklah murni dari dalam, yakni kehendak rakyat, melainkan karena ada kepentingan asing untuk menjalankan liberalisasi di Indonesia.
Setelah amandemen terhadap UUD 1945, pekerjaan IMF dilanjutkan oleh Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB ), yang mensponsori lahirnya sejumlah perundang-undangan yang berbau neoliberal. Salah satu perubahan fundamental akibat amandemen UUD 1945 itu, kata Daeng, adalah penggantian kata “setiap warga negara” dalam semua pasal –pasal yang mencantumkan kata itu menjadi kata “setiap orang”. Kata ‘setiap orang’ , kata Daeng, mengacu pada pemaknaan individualisme. “Kita tidak lagi dilihat sebagai warga negara, melainkan sebagai individu- individu yang terpisah-pisah .”
Negara tidak lagi sebagai alat untuk melindungi kepentingan warga negaranya . Negara telah terpisah dengan warga negara. Yang diakui adalah subjek berupa individu-individu bebas.
Selasa, 05 Juli 2011
Dominasi Modal Asing
Sejumlah media arus utama telah mengangkat soal dominasi modal asing dalam perekonomian Indonesia. Sepanjang yang kami ketahui, apa yang disampaikan oleh media arus utama itu bukanlah hal yang baru, tetapi sudah seringkali disuarakan oleh kelompok-kelompok kritis dan kalangan oposisi.
Dominasi modal asing sebetulnya bukan cuma mengkhawatirkan, tetapi sekaligus telah membawa perekonomian nasional dalam ‘situasi genting’. Sebab, mengutip perkataan Bung Karno 81 tahun yang lalu, bahwa ‘raksasa biasa yang dulu berjengkelitan di atas pada kerezekian Indonesia, kini sudah menjadi raksasa Rahwana-Dasamuka yang bermulut sepuluh’.
Dominasi modal asing itu dapat dilihat pada tiga lapangan: pertama, menguasai perbankan nasional; kedua, mendominasi investasi di Indonesia; ketiga, menguasai bursa saham di Indonesia. Dengan menguasai tiga lapangan ekonomi yang sangat penting itu, maka modal asing sebetulnya sudah ‘mencekik’ leher perekonomian nasional.
Perdebatan soal perlu dan tidaknya modal asing hampir bersamaan dengan pembicaraan soal lahirnya nation baru bernama Indonesia. Bung Karno sudah mengulas soal modal asing itu dalam tulisan-tulisannya sejak tahun 1930-an. Sejak awal, di kalangan republik sendiri, ada pihak-pihak yang menganggap modal asing sangat penting untuk mendorong ekonomi nasional Indonesia. Karena modal nasional atau milik bangsa Indonesia masih sedikit, maka modal asing diperbolehkan untuk membangun kepentingannya di Indonesia.
Mohammad Hatta, Wakil Presiden Indonesia yang pertama, pernah berkata: “Soal kapital menjadi halangan besar untuk memajukan industrialisasi di Indonesia. Rakyat sendiri tidak mempunyai kapital. Kalau industrialisasi mau berarti sebagai jalan untuk memakmurkan rakyat, perkataan-perkataan kemakmuran rakyat (cetak tebal, red) mestilah kapitalnya datang dari pihak rakyat atau pemerintah. Karena, kalau kapital harus didatangkan dari luar, tampuk produksi terpegang oleh orang luaran.
Dan, dengan jalan itu, kata Mohammad Hatta, industrialisasi tidak akan berjalan di Indonesia, karena modal asing hanya membangun pabrik menurut kepentingannya sendiri atau membangun pabrik pada sektor-sektor yang menjanjikan keuntungan berlebih.
Dan, memang betul apa yang dikatakan Hatta, sudah 60 tahun lebih modal asing mengambil peranan dalam perekonomian sejak Indonesia merdeka, industri yang terbangun masih sangat sedikit.
Sebaliknya, jika kita teliti lagi dengan baik, keberadaan modal asing itu justru membawa tiga malapetaka: merampok semua kekayaan alam bangsa kita, mengangkut keuntungan besar sekali dari bumi kita, dan menciptakan kemiskinan dan ancaman kerusakan lingkungan yang sangat parah.
Akibat dari penguasaan asing itu, sebagaimana diakui oleh Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia, ‘rakyat Indonesia hanya menikmati 10% dari keuntungan ekonomi, sedangkan 90%nya dibawa asing keluar.’
Kita boleh percaya atau tidak dengan apa yang dikatakan oleh Burhanuddin Abdullah. Tetapi, apa yang tak terbantahkan, bahwa kita bangsa yang punya kekayaan alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang besar, tetapi kenyataannya sebagian besar rakyat kita hidup sengsara.
Selain itu, supaya modal asing itu bisa berkembang dan mencapai tujuan-tujuannya, maka mereka pun mengajukan syarat-syarat: jaminan keamanan, penyediaan tenaga kerja berupah rendah, stabilitas ekonomi, kemudahan transfer modal dan keuntungan, dan keringanan pajak.
Dengan keberadaan syarat-syarat itu, maka modal asing bebas menggali keuntungan sebesar-besarnya di bumi Indonesia, sedangkan kehidupan rakyat dan ekonomi nasional menjadi tergerus karenanya. Beberapa dampak yang terlihat, antara lain: Pertama, perampokan kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting menyebabkan—meminjam istilah Bung Karno—‘pengeringan terhadap rakyat Indonesia’. Kedua, karena modal asing memerlukan tanah, pembangunan infrastruktur pendukung, dan jaminan keamanan, maka sering terjadi perampasan tanah, penggusuran, dan represi atau penindasan terhadap rakyat.
BERDIKARI
Dominasi modal asing sebetulnya bukan cuma mengkhawatirkan, tetapi sekaligus telah membawa perekonomian nasional dalam ‘situasi genting’. Sebab, mengutip perkataan Bung Karno 81 tahun yang lalu, bahwa ‘raksasa biasa yang dulu berjengkelitan di atas pada kerezekian Indonesia, kini sudah menjadi raksasa Rahwana-Dasamuka yang bermulut sepuluh’.
Dominasi modal asing itu dapat dilihat pada tiga lapangan: pertama, menguasai perbankan nasional; kedua, mendominasi investasi di Indonesia; ketiga, menguasai bursa saham di Indonesia. Dengan menguasai tiga lapangan ekonomi yang sangat penting itu, maka modal asing sebetulnya sudah ‘mencekik’ leher perekonomian nasional.
Perdebatan soal perlu dan tidaknya modal asing hampir bersamaan dengan pembicaraan soal lahirnya nation baru bernama Indonesia. Bung Karno sudah mengulas soal modal asing itu dalam tulisan-tulisannya sejak tahun 1930-an. Sejak awal, di kalangan republik sendiri, ada pihak-pihak yang menganggap modal asing sangat penting untuk mendorong ekonomi nasional Indonesia. Karena modal nasional atau milik bangsa Indonesia masih sedikit, maka modal asing diperbolehkan untuk membangun kepentingannya di Indonesia.
Mohammad Hatta, Wakil Presiden Indonesia yang pertama, pernah berkata: “Soal kapital menjadi halangan besar untuk memajukan industrialisasi di Indonesia. Rakyat sendiri tidak mempunyai kapital. Kalau industrialisasi mau berarti sebagai jalan untuk memakmurkan rakyat, perkataan-perkataan kemakmuran rakyat (cetak tebal, red) mestilah kapitalnya datang dari pihak rakyat atau pemerintah. Karena, kalau kapital harus didatangkan dari luar, tampuk produksi terpegang oleh orang luaran.
Dan, dengan jalan itu, kata Mohammad Hatta, industrialisasi tidak akan berjalan di Indonesia, karena modal asing hanya membangun pabrik menurut kepentingannya sendiri atau membangun pabrik pada sektor-sektor yang menjanjikan keuntungan berlebih.
Dan, memang betul apa yang dikatakan Hatta, sudah 60 tahun lebih modal asing mengambil peranan dalam perekonomian sejak Indonesia merdeka, industri yang terbangun masih sangat sedikit.
Sebaliknya, jika kita teliti lagi dengan baik, keberadaan modal asing itu justru membawa tiga malapetaka: merampok semua kekayaan alam bangsa kita, mengangkut keuntungan besar sekali dari bumi kita, dan menciptakan kemiskinan dan ancaman kerusakan lingkungan yang sangat parah.
Akibat dari penguasaan asing itu, sebagaimana diakui oleh Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia, ‘rakyat Indonesia hanya menikmati 10% dari keuntungan ekonomi, sedangkan 90%nya dibawa asing keluar.’
Kita boleh percaya atau tidak dengan apa yang dikatakan oleh Burhanuddin Abdullah. Tetapi, apa yang tak terbantahkan, bahwa kita bangsa yang punya kekayaan alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang besar, tetapi kenyataannya sebagian besar rakyat kita hidup sengsara.
Selain itu, supaya modal asing itu bisa berkembang dan mencapai tujuan-tujuannya, maka mereka pun mengajukan syarat-syarat: jaminan keamanan, penyediaan tenaga kerja berupah rendah, stabilitas ekonomi, kemudahan transfer modal dan keuntungan, dan keringanan pajak.
Dengan keberadaan syarat-syarat itu, maka modal asing bebas menggali keuntungan sebesar-besarnya di bumi Indonesia, sedangkan kehidupan rakyat dan ekonomi nasional menjadi tergerus karenanya. Beberapa dampak yang terlihat, antara lain: Pertama, perampokan kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting menyebabkan—meminjam istilah Bung Karno—‘pengeringan terhadap rakyat Indonesia’. Kedua, karena modal asing memerlukan tanah, pembangunan infrastruktur pendukung, dan jaminan keamanan, maka sering terjadi perampasan tanah, penggusuran, dan represi atau penindasan terhadap rakyat.
BERDIKARI
Radikalisme dan Stabilisasi Politik
Sepertinya ancaman terbesar bagi pemerintahan SBY saat ini adalah radikalisme. Setidaknya, dari ingatan kami yang sangat pendek, ada tiga kali pernyataan atau pidato SBY yang menegaskan perlunya melawan radikalisme. Yang pertama, ketika Presiden memberikan sambutan dalam rapat di istana Bogor pada bulan April lalu. Yang kedua, ketika sedang melakukan teleconference dengan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), dimana SBY menyerukan supaya organisasi petani jangan dibawa pada gerakan politik. Dan yang ketiga, ketika SBY membuka Jambore Nasional gerakan pramuka di di Teluk Gelam, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu (2/7).
Pesan dari presiden SBY sangat jelas: radikalisasi telah mengancam kehidupan politik atau stabilisasi politik. Kita tidak tahu, apa yang dimaksud SBY sebagai bahaya radikalisme sebatas pada aksi terorisme, ataukah juga mengcakup tindakan-tindakan atau gagasan yang berseberangan dengan keinginan pemerintah.
Secara bahasa, radikal berasal dari istilah Yunani, radix, yang berarti akar. Menurut Wikipedia, pada abad ke-18 istilah ini dipergunakan oleh gerakan radikal untuk mendesakkan perubahan atau reformasi, seperti reformasi pemilihan di Inggris, gerakan republikanisme di revolusi perancis, dan lain-lain.
Dalam eksiklopedia Britania, penggunaan radikalisme pertama kali mengacu kepada Charles James Fox, dari partai Whig Inggris, yang, pada tahun 1797, mengusulkan reformasi radikal terhadap sistim pemilihan di Inggris. Penemuan-penemuan besar di abad ke-19, seperti penemuan lampu listrik oleh Thomas Alva Edison dan penemuan mesin uap oleh James Watt, tidak akan mungkin terjadi jika mereka tidak melakukan radikalisme pemikiran untuk membongkar pakem-pakem pengetahuan sebelumnya.
Dalam sejarah Indonesia, ketika kaum pergerakan mau berbicara negara baru di bawah kekuasaan kolonialis Belanda, yaitu Indonesia, telah mengambil jalan gerakan radikal. Bung Karno, dalam pidato ‘Indonesia Menggugat’, mengatakan begini: “Kami adalah nasionalis revolusioner, nasionalis yang radikal, nasionalis kepala banteng! Kami punya bahasa adalah bahasa yang keluar dari kalbu yang berkobar-kobar dengan semangat nasional, berkobar-kobar dengan rasa kecewa atas celaka dan sengsara rakyat.”
Sekarang ini pun, di bawah penjajahan neo-kolonialisme atau imperialisme, rakyat harus mengambil jalan radikal untuk membongkar mindset dan mental budak dalam dirinya. Kita juga tidak mungkin lepas dengan imperialisme hanya dengan meminta ‘secara baik-baik’ kepada imperialis agar segera menghentikan penghisapan di bumi nusantara. Kita harus menempuh jalan radikal untuk menyelesaikan persoalan bangsa itu.
Sebaliknya, pihak-pihak yang selalu berbicara ketertiban dan ketenteraman, sekalipun ketertiban dan ketenteraman itu juga penting, adalah pihak-pihak yang sudah menikmati keuntungan besar di bawah kondisi sosial sekarang ini. Kita butuh ketertiban dan ketenteraman, tetapi kita jauh lebih butuh kesejahteraan, demokrasi, dan keadilan sosial.
Oleh karena itu, ada baiknya Presiden SBY memperjelas bahaya radikalisme yang dimaksud; jangan disamar-samarkan atau sengaja diluweskan pengertiannya. Kalau yang dimaksukan adalah kelompok agama garis keras atau terorisme, maka ada baiknya menggunakan istilah yang langsung menunjuk hidung: fundamentalisme atau kanan garis keras (ultra-kanan). Kalau menurut kami, gerakan fundamentalis itu bukan sebuah gerakan radikal, karena dia tidak bermaksud mengubah situasi sekarang untuk bergerak pada taraf yang lebih maju, melainkan ingin kembali ke masa yang kelam; kekuasaan absolut di tangan segelintir orang (raja atau pemuka agama).
Dengan begitu, kita tidak perlu mengorbankan bentuk-bentuk radikalisme yang positif, yakni kebutuhan-kebutuhan perubahan mendasar terhadap sistem sosial yang menindas sekarang ini.
Dan, lebih parah lagi, jangan sampai deradikalisme itu diartikan sebagai larangan kepada rakyat untuk berpolitik. Jika sampai terjadi demikian, maka pemerintahan SBY-Budiono ini tentu akan berjalan lebih mundur dibanding rejim orde baru. Karena, larangan terhadap rakyat untuk berpolitik adalah sama saja membonsai fikiran rakyat agar tetap bodoh dan takluk, tetap miskin dan tidak berani menuntut, dan menerima penderitaan apapun yang ditimpakan padanya tanpa perlawanan.
Berdikari
Pesan dari presiden SBY sangat jelas: radikalisasi telah mengancam kehidupan politik atau stabilisasi politik. Kita tidak tahu, apa yang dimaksud SBY sebagai bahaya radikalisme sebatas pada aksi terorisme, ataukah juga mengcakup tindakan-tindakan atau gagasan yang berseberangan dengan keinginan pemerintah.
Secara bahasa, radikal berasal dari istilah Yunani, radix, yang berarti akar. Menurut Wikipedia, pada abad ke-18 istilah ini dipergunakan oleh gerakan radikal untuk mendesakkan perubahan atau reformasi, seperti reformasi pemilihan di Inggris, gerakan republikanisme di revolusi perancis, dan lain-lain.
Dalam eksiklopedia Britania, penggunaan radikalisme pertama kali mengacu kepada Charles James Fox, dari partai Whig Inggris, yang, pada tahun 1797, mengusulkan reformasi radikal terhadap sistim pemilihan di Inggris. Penemuan-penemuan besar di abad ke-19, seperti penemuan lampu listrik oleh Thomas Alva Edison dan penemuan mesin uap oleh James Watt, tidak akan mungkin terjadi jika mereka tidak melakukan radikalisme pemikiran untuk membongkar pakem-pakem pengetahuan sebelumnya.
Dalam sejarah Indonesia, ketika kaum pergerakan mau berbicara negara baru di bawah kekuasaan kolonialis Belanda, yaitu Indonesia, telah mengambil jalan gerakan radikal. Bung Karno, dalam pidato ‘Indonesia Menggugat’, mengatakan begini: “Kami adalah nasionalis revolusioner, nasionalis yang radikal, nasionalis kepala banteng! Kami punya bahasa adalah bahasa yang keluar dari kalbu yang berkobar-kobar dengan semangat nasional, berkobar-kobar dengan rasa kecewa atas celaka dan sengsara rakyat.”
Sekarang ini pun, di bawah penjajahan neo-kolonialisme atau imperialisme, rakyat harus mengambil jalan radikal untuk membongkar mindset dan mental budak dalam dirinya. Kita juga tidak mungkin lepas dengan imperialisme hanya dengan meminta ‘secara baik-baik’ kepada imperialis agar segera menghentikan penghisapan di bumi nusantara. Kita harus menempuh jalan radikal untuk menyelesaikan persoalan bangsa itu.
Sebaliknya, pihak-pihak yang selalu berbicara ketertiban dan ketenteraman, sekalipun ketertiban dan ketenteraman itu juga penting, adalah pihak-pihak yang sudah menikmati keuntungan besar di bawah kondisi sosial sekarang ini. Kita butuh ketertiban dan ketenteraman, tetapi kita jauh lebih butuh kesejahteraan, demokrasi, dan keadilan sosial.
Oleh karena itu, ada baiknya Presiden SBY memperjelas bahaya radikalisme yang dimaksud; jangan disamar-samarkan atau sengaja diluweskan pengertiannya. Kalau yang dimaksukan adalah kelompok agama garis keras atau terorisme, maka ada baiknya menggunakan istilah yang langsung menunjuk hidung: fundamentalisme atau kanan garis keras (ultra-kanan). Kalau menurut kami, gerakan fundamentalis itu bukan sebuah gerakan radikal, karena dia tidak bermaksud mengubah situasi sekarang untuk bergerak pada taraf yang lebih maju, melainkan ingin kembali ke masa yang kelam; kekuasaan absolut di tangan segelintir orang (raja atau pemuka agama).
Dengan begitu, kita tidak perlu mengorbankan bentuk-bentuk radikalisme yang positif, yakni kebutuhan-kebutuhan perubahan mendasar terhadap sistem sosial yang menindas sekarang ini.
Dan, lebih parah lagi, jangan sampai deradikalisme itu diartikan sebagai larangan kepada rakyat untuk berpolitik. Jika sampai terjadi demikian, maka pemerintahan SBY-Budiono ini tentu akan berjalan lebih mundur dibanding rejim orde baru. Karena, larangan terhadap rakyat untuk berpolitik adalah sama saja membonsai fikiran rakyat agar tetap bodoh dan takluk, tetap miskin dan tidak berani menuntut, dan menerima penderitaan apapun yang ditimpakan padanya tanpa perlawanan.
Berdikari
Langganan:
Postingan (Atom)